Sunday, April 7, 2013

Beranda » Resensi: "Generasi 90an", Mesin Waktu Masa Lalu

Resensi: "Generasi 90an", Mesin Waktu Masa Lalu

KOMPAS.com - Buku ini, yang sebagian besar adalah ilustrasi dan kartun, seperti mesin waktu yang akan melempar pembacanya kembali ke era tahun 1990-an. Setiap gambar diberi keterangan dengan bahasa kekinian, dan sedikit agak kontekstual, sehingga mungkin hanya generasi 90-an yang tahu arti dan maksud dari gambar tersebut.

Generasi 90-an yang dimaksud Marchella FP sebagai penulis atau pendesain buku ini merujuk pada mereka yang tumbuh dan berkembang di era 90-an, khususnya mereka yang masih duduk di bangku sekolah, baik itu SD, SMP, dan atau SMA. Dengan kata lain, bisa jadi merujuk pada mereka yang lahir tahun 1980-an.

Layaknya mesin waktu, dari halaman pertama, buku ini sudah menggiring pembaca untuk bernostalgia. Ada gambar-gambar mainan sebagai penanda seperti yoyo, biji karet, mainan memancing ikan, inline skate, tiup balon, bongkar pasang Sailormoon, dan boneka troll. Semua mainan itu menuntut kreativitas dan membuat tubuh aktif bergerak. Bandingkan dengan "mainan" zaman sekarang yang serba tersimpan dalam satu bentuk, yakni digital.

Buku ini memiliki tema yang terdiri atas lima bagian: tontonan, musik, barang atau gaya, bacaan, dan mainan. Tema pertama berkaitan dengan tontonan yang populer di era 90-an. Stasiun televisi baru ada lima: RCTI, SCTV, TPI, ANteve, dan Indosiar (dengan gambar logo yang masih sangat jadul). Hari Minggu adalah hari maraton kartun, dan ada lima top kartun saat itu, yakni Doraemon, Dragon Ball, Sailormoon, Remi, dan Saint Seiya.

Di zaman 90-an, artis sinetron yang digandrungi bisa dihitung jumlahnya, seperti Ari Wibowo, Sahrul Gunawan, Anjasmara, dan Adam Jordan. Sementara pemain sinetron perempuannya Bella Saphira, Maudy Koesnaedi, Desi Ratnasari, Lulu Tobing, dan Jihan Fahira. Sekarang saking banyaknya artis dan berita yang lebih ke sensasi membuat tidak jelas karakter mana yang bisa dijadikan idola. Waktu itu, rasanya tidak ada perempuan yang tidak senang kalau dibilang cantik mirip Desy Ratnasari.

Remaja pasti tak bisa lepas dari musik, dan era 90-an jelas merupakan eranya MTV. Saban pagi Nadya Hutagalung dan Sarah Sechan memutar lagu-lagu boyband atau band alternatif semacam Nirvana, Oasis, Blur, Backstreet Boys, Boyzone, Westlife, atau Spice Girls. Untuk penyanyi dalam negeri ada Nike Ardilla, Coboy, Cool Colors, Type X, Dewa 19, Slank, dan Sheila On 7. 

Gaya apa yang dipakai atau ngetren saat itu? Marchella membeberkan setidaknya tiga jenis potongan rambut terpopuler; belah tengah ala Andy Lau, cepak Tin Tin, dan pendek ala Demi Moore. Barang-barang yang wajib dimiliki kalau tidak mau ketinggalan zaman, ada jam tangan G-shock, sepatu berlampu yang sering diinjak, dan topi pink bertuliskan Tersayang. 

Era 90-an belum mengenal gadget canggih atau smartphone. Pelajar dan mahasiswa masih memakai telepon umum dengan koin. Kalaupun ada gadget paling pager, ponsel lipat jadul (Ericsson GF 388 jadi handphone sejuta umat kala itu), komputer berdisket, dan laser disc player.

Anak sekarang terbiasa membaca lewat smartphone atau tablet. Namun anak 90-an masih sering menenteng novel-novel seperti Lupus Kecil, Goosebumps R L Stine, Lima Sekawan, dan Animorphs. Komik Kungfu Boy, Candy Candy, Tiger Wong, Petruk, dan Donal Bebek juga populer saat itu. Majalah anak, remaja, dan dewasa tak sampai 10 jumlahnya. Baru ada Bobo, Fantasi, Aneka, Hai, dan Gadis.  Tak ketinggalan semacam buku tebak-tebakan dan siksa neraka. Ups!

Tema terakhir buku ini menampilkan apa yang jadi mainan di era 90-an. Mainan-mainan itu rata-rata membuat anak muda masa itu suka berkumpul. Seperti mobil mini WD Tamiya dan Dash Yonkuro. Anak mana pun, entah yang suka olahraga atau kutu buku, rasanya punya minimal satu tamiya dan kerap berbagi jalur bermain.

Dalam proses pembacaan, buku Generasi 90an bisa dituntaskan dalam waktu kurang lebih satu jam, karena lebih didominasi gambar ilustrasi dan kartun. Tapi setiap halamannya akan mengundang tawa, karena selain bernostalgia dengan foto-foto lama masa kecil, ada cerita yang tersimpan di setiap benda atau kenangan.

Gambar-gambar yang dibuat Marchella bisa jadi biasa saja, tapi gagasan atau idenya untuk menyentil yang menjadikan buku ini sedikit lebih berisi. Seperti sentilan bagaimana era  90-an adalah masa transisi di mana anak-anak masih hidup bersosialisasi dengan riang, memiliki bintang cilik seusianya, yang justru tidak dimiliki oleh anak era milenium.

Gambaran-gambaran itu juga memberikan penanda akan perbedaan cara bergaul dan berperilaku anak muda era 90-an. Dulu, anak-anak lebih terasa bersosialisasi dalam arti yang sebenarnya. Kalau mau main ke rumah, bisa teriak di depan pintu dengan menyoraki namanya. Sekarang cukup berdiri depan rumah, lalu nge-Ping! lewat Blackberry Messenger atau WhatsApp. Kalau dulu bisa diketahui siapa saja yang main ke rumah dari sandal yang ada di depan pintu. Sekarang ada aplikasi Path untuk melihat siapa yang sedang "beredar". Rasanya sudah jelas berbeda.

Untuk menjalin pertemanan, generasi 90-an lebih suka berkumpul dan menjalin hubungan dengan erat. Sekarang, untuk menjadi teman mesti klik "request friends" dulu di Facebook. Bahkan, remaja bisa dengan gampang mendapat "pacar" setelah berkenalan di Facebook (meski akhirnya kerap terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lantaran banyak orang yang menyalahgunakan jejaring sosial untuk menuntaskan niat buruk).

Tetapi setiap generasi tentunya punya era dan karakternya masing-masing. Bisa jadi 10 tahun mendatang, remaja yang sekarang juga bisa membuat buku "Generasi Milenium" dengan gadget atau aplikasi seperti BBM, WhatsApp, Friendster, Facebook, dan lainnya.

Bernostalgia itu membahagiakan, dan buku ini berhasil melakukannya. Setidaknya di beberapa halaman akan membuat pembaca, khususnya generasi 90-an, menyunggingkan senyum dan bersyukur.

Editor :

Dini


http://female.kompas.com/read/xml/2013/04/07/21104984/Resensi.Generasi.90an..Mesin.Waktu.Masa.Lalu