Wednesday, February 2, 2011

Beranda » Dakwah di Negeri Para Pelawak

Dakwah di Negeri Para Pelawak


Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata "pelawak". Mungkin yang terbayang dalam benak kita adalah orang-orang yang memakai busana-busana aneh dan berbicara tak tahu arah. Yang penting bisa bikin orang ketawa. Parahnya lagi, yang jadi lawakan adalah hal-hal yang menyangkut seksual. Naudzubillah...inilah potret negeri kita.

Manusia Indonesia selalu disuguhkan lawak. Bahkan hampir di setiap stasiun TV ada program acara lawak-lawak. Sebenarnya Islam tak pernah melarang untuk melawak. Asalkan isi lawakannya tak berisi kebohongan dan tak bertentangan dengan syariat. Tapi di negeri kita para pelawaknya kebanyakan memamerkan aurat. Sudahlah isi lawakan banyak yang nggak bermutu dan banyak maksiatnya.

Padahal masih banyak yang harus dibenahi di negeri ini. Tapi kita dilalaikan dan dilenakan dengan lawak-lawak. Sehingga negara susah untuk berkembang maju. Karena kita kebanyakan nyantai dan berleha-leha. Prinsip hidup orang sekarang lebih kepada mengejar materi dan melupakan ukhrawi. Padahal secanggih apapun kendaraan pasti kendaraan terakhir kita adalah keranda. Sekeren apapun rumah kita pasti rumah terakhir kita adalah kuburan.

Imam Syahid Hasan Al Banna mengatakan: "Orang-orang yang tidur dengan sekelopak matanya, makan dengan sepenuh mulutnya, dan tertawa sepenuh kerongkongannya, dan mengikuti hawa nafsunya. Sungguh sangat jauh dari keberhasilan dan tidak tercatat dalam barisan para pejuang."

Semoga kita anak muda Indonesia yang masih punya hati nurani terhadap umat ini. Khususnya bangsa kita Indonesia yang semakin terpuruk dalam segi akhlak. Tawuran antara pelajar yang semakin marak. Dimana peran orang tua, guru dan kita sebagai generasi muda? Tak ada solusi dari semua ini kecuali kembali ke manhaj Rasulullah dalam membina dan mentarbiyah para sahabatnya.

Baginda Rasul Saw memulai dakwahnya dari halaqah-halaqah kecil di rumah sahabat Arqam bin Arqam. Setidaknya ada tiga hal mendasar kenapa harus tarbiyah.

Pertama: Sulit tapi hasilnya paten (Sha'bun-Tsabit)

Sulitnya sebuah proses biasanya membuahkan hasil yang berkualitas, oleh karena itu proses da’wah yang dilakukan oleh Rosululloh SAW, bukanlah perkara yang mudah, bayangkan, lima tahun pertama dalam da’wahnya di Mekkah baru hanya terkumpul “Arba’una rojulan wa khomsu niswatin” (40 laki-laki dan 5 wanita), akan tetapi ke 45 orang inilah yang kemudian menjadi ujung tombak da’wah, yang tidak hanya “Qaabilun lidda’wah” tetapi juga “Qaabilun litthagyir”, bahkan mereka seluruhnya menjadi “Anashiruttaghyir”, “Agen of change”, agen perubahan sosial dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat yang islami.

Kedua : Panjang tetapi terjaga keasliannya (Thawil - Ashil)

Da’wah adalah perjalanan panjang, perjalanan yang dilalui tidak hanya oleh satu generasi, bahkan untuk dapat mencapai target dan sasaran jangka panjangnya membutuhkan beberapa generasi, Ingatlah ketika Rosululloh SAW mengayunkan palu memecahkan bebatuan parit Khandaq, ada percikan apai keluar dari sela-sela hantaman palu dan batu memercik ke arah timur, lalu beliau mengisyaratkan bahwa umatnya kelak akan dapat menaklukan Romawi (Byzantium). Padahal Romawi baru dapat di Taklukan oleh umat Islam pada masa daulah Utsmaniyah sekian abad sesudahnya, berapa generasi yang telah telampaui dan berapa panjang perjalanan da’wah yang telah dilalui?, akan tetapi ikhwah fillah betapaun telah melewati sekian banyak generasi, “Asholah” tetap terjaga, “Hammasah” tetap terpelihara, Islam yang sampai ke Romawi adalah Islam sebagaimana yang dijalankan oleh generasi pertamanya yaitu Rasululloh SAW dan Para sahabat Rodhiallohu ‘anhum wa rodhuu’anhu.

Ketiga : Lambat tapi hasilnya terjamin (Bathi’ – Ma’mun)

Salah satu jaminan dari proses tarbiyah adalah melahirkan sebuah kepribadian yang integral, tidak mendua dan tidak terbelah, integritas kepribadian seorang muslim yang ditempa di jalan tarbawi tercermin pada keteguhan akidahnya, keluhuran akhlaknya , kebersuhan hatinya, kebaikan suluknya baik secara ta’abbudi, ijtima’i maupun tandzhimi.

Akhrie Rabbani