Sebelum berangkat, sang bapak hanya berpesan satu hal, “Nak, mudah-mudahan kelak kamu bisa bangun langgar ya di sini. Kamu nanti yang menjadi imamnya.” Kadir yang masih remaja, hanya manggut-manggut saja.
Bertahun-tahun Kadir menghabiskan waktunya di pesantren. Akhirnya, Kadir lulus dengan nilai yang memuaskan. Doa kedua orang tuanya dikabulkan Tuhan. Kadir pun pulang ke rumah dengan dada tegap dan penuh kebahagiaan. Orangtuanya sampai membuat pesta syukuran.
Lulus dari pesantren, tidak banyak yang dilakukan Kadir di rumah. Untuk mengamalkan ilmunya, ia mengalami kesulitan. Sebab, di kampungnya, tidak ada pesantren dan masjid besar yang menyelenggarakan pengajian.
Tadinya, orangtuanya berniat langsung memasukkan Kadir ke bangku kuliah, tapi bapaknya minta Kadir rehat dulu setahun atau dua tahun. Masalahnya, usaha kebun palawija bapaknya sedang bangkrut karena habis dimakan hama. Jadi, tidak ada biaya lagi untuk menyekolahkan Kadir ke perguruan tinggi.
Banyak waktu luang, Kadir menghabiskan waktu dengan nongkrong bersama kawan-kawannya. Pergaulan dengan teman-teman lamanya ternyata membawa pengaruh buruk bagi Kadir. Ia jadi akrab dengan minuman keras. Mulanya ia bisa menolak jika teman-temannya menawarkan minuma keras kepadanya. Tetapi lama kelamaan keteguhannya jebol juga.
Hampir setiap hari, Kadir mabuk dengan kawan-kawannya. Tapi, untuk membeli minuman keras itu tentu membutuhkan uang. Dari mana Kadir mendapatkan semuanya itu? Jika sebelumnya, Kadir dikasih gratis oleh kedua sahabatnya, kali ini ia harus memakai uang sendiri.
Sejak itu Kadir menjadi seorang pemalak. Dalam perkembangannya, aksi Kadir lebih dahsyat lagi. Ia berani menghajar orang hanya karena tidak dikasih uang. Bahkan, Kadir mulai berani membawa senjata tajam berupa celurit kecil. Dengan senjata itu, pernah ia menyelurit kuping orang hingga putus dan berurusan dengan kepolisian.
Tetapi, setelah keluar dari kantor polisi, ia tidak jera, malah semakin beringas. Dalam kondisi inilah, kedua orang tua Kadir akhirnya meninggal dunia dengan tekanan berat karena kelaukan anaknya.
Mimpi Ayah ...
Bertahun-tahun Kadir melakoni kejahatannya: malak, mabuk, dan judi. Selama itu pula, banyak orang yang disakiti olehnya. Suatu kali, di tengah malam, ia duduk di depan rumahnya sendirian. Kali ini ia tidak berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Ia menatap langit yang bertaburkan bintang.
Tiba-tiba ia teringat masa kecilnya yang indah bersama ibu dan bapaknya. Ia masih ingat bagaimana kedua orangtuanya mengajarinya mengaji dan memasukkannya ke pesantren di Jawa.
Terbersit dalam hatinya penyesalan mendalam atas perbuatan yang telah dilakukannya selama ini. Ia sudah lupa pada Tuhan. Shalat kadang ditinggalkannya. Bahkan, saat bulan Ramadhan tiba, ia jarang sekali berpuasa.
Tak lama kemudian Kadir masuk ke dalam dan tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu bapaknya di suatu tempat yang sangat asing baginya. Di sekitarnya benar-benar hanya berwarna putih. Oleh bapaknya, Kadir ditanya, “Dir, kenapa kamu gak sadar-sadar juga? Hidup ini hanya sebentar. Kembalilah ke jalan yang benar!” Setelah itu, bapaknya pergi begitu saja.
Kadir terkejut dan terjaga dari tidurnya. “Ah, saya hanya mimpi!” bisik Kadir dalam hati. Tetapi, peristiwa itu tak pernah dilupakannya. Mimpi itu selalu tergiang-ngiang di telinganya.
Akhirnya, Kadir menjadi malas keluar rumah. Saat temannya menyambanginya, ia pun hanya berkata, “Badan saya lagi gak enak, nih. Kali ini saya absen lagi deh.”
Suatu kali Kadir masuk ke kamar bapaknya yang sudah lama tidak dilihat, sejak bapaknya meninggal. Keadaannya kotor sekali tak terurus. Debu dan sawang bertebaran di mana-mana. Ia kemudian membuka lemari pakaian bapaknya dan tiba-tiba sebuah benda jatuh. Ternyata benda yang jatuh itu adalah foto bapaknya.
Diambillah foto itu dan dilihatlah wajah bapaknya. Tanpa sadar Kadir menangis. Kedua kelopak matanya sembab dengan air. “Pak, maafkan Kadir! Selama ini Kadir telah mengecewakan Bapak. Karena Kadir, Bapak akhirnya meninggal dunia,” bisik Kadir dalam hati, sambil mengusap kedua pipinya yang basah karena lelehan air mata.
Sejak itulah, Kadir akhirnya bertaubat dan meninggalkan kebiasaan buruknya yang suka mabuk dan memalak orang. Pakaian lama yang pernah dikenakannya seperti kopyah dan sarung, kini mulai disarungkan kembali ke badannya.
Ya, ia sudah mulai shalat dan beribadah lagi kepada Tuhan. Sebagai bentuk penyesalannya, ia kemudian menjual kebun palawija warisan bapaknya untuk memenuhi amanat almarhum sebelum dirinya berangkat ke pesantren, yaitu mendirikan langgar (tajug/musholla).
Banyak orang yang tidak mau membantu Kadir. Mereka tidak percaya dengan maksud baik Kadir. Preman mana yang mau membuat langgar? Ejek mereka dalam hati.
Akhirnya, Kadir mencari orang dari desa tetangga untuk membangun langgarnya. Setelah langgar itu selesai dibangun, Kadir sendiri yang menghidupi langgar tersebut. Ia yang adzan dan iqamah.
Bahkan, bila ada jamaah datang, ia sendiri yang menjadi imamnya. Lama-kelamaan jamaah di langgar milik Kadir semakin banyak yang berdatangan. Langgar milik Kadir pun menjadi hidup dan ramai. Pasalnya, suara Kadir juga tidak jelek-jelek amat saat membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an. Bacaan tajwidnya juga bagus, sebab ia pernah jadi santri di Jawa.
Bahkan, setelah sekian lama berjalan, Kadir mulai dipakai di masjid di kampungnya sendiri. Ia sekali-kali menjadi imam dan khatib Jum’at di sana. Subhanallah! Sebuah akhir kisah hidup yang manis untuk seorang mantan penjahat! Semoga banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini! aamiin.
[Seperti yang diceritakan Rahmat pada Hidayah]