Menurut Roslina Verauli, psikolog dan penulis buku Love Cold, ada empat fase memberi maaf, yaitu:
1. Membuka diri.
Individu perlu memahami betapa besar dampak mendendam, marah, dan benci bagi kehidupannya sendiri.
2. Membuat keputusan.
Saatnya individu membuat keputusan, akan tetap menyimpan emosi negatif atau justru berbenah dan memaafkan.
3. Bertindak.
Individu berpusat pada isu atau masalah secara langsung. Sehingga secara otomatis mengesampingkan "pelaku". Kemudian mencoba mengubah perspektif tentang masalah yang terjadi. Berpikir dari berbagai perspektif dan dimensi untuk membangun "reframing" sejumlah skema dan penghayatan yang dimiliki tentang kejadian yang dianggap menyakitkan.
Jadi, sebenarnya memaafkan tidak berkaitan dengan melupakan, menyangkal. Apalagi menekan perasaan, dengan mengatakan masalah tidak akan terjadi. Atau tidak merasa sakit hati dan kemudian mentoleransi kejadian yang menyakitkan.
4. Pendalaman.
Ketika "reframing" berhasil, masalah akan mampu dilihat dari perspektif yang berbeda secara mendalam.Sehingga tiba-tiba saja emosi yang tadinya negatif berubah menjadi netral karena pemahaman tentang masalah sudah berubah.
Saat itulah seseorang akan siap memaafkan. Jadi bukan sekadar memaafkan tapi tak bisa melupakan. Melainkan memaafkan untuk memiliki hidup yang lebih baik.
Memaafkan tak hanya meningkatkan kebijaksanaan dan kematangan secara emosional, tapi juga meningkatkan kebahagiaan. Jadi, alih-alih menyimpan dendam alangkah lebih baik jika berusaha memaafkan.
Meskipun faktanya sejumlah orang merasa lebih nyaman menyimpan amarah, karena merasa punya hak untuk tetap marah, sakit hati, hingga ingin membalas dendam.
Satu hal lagi, memaafkan bukan hanya memberi hadiah bagi orang lain yang dimaafkan. Justru dengan memaafkan, Anda sedang memberi hadiah bagi diri sendiri.
(Majalah Chic/Erika Paula)
Sumber :
Editor :
Wawa
http://female.kompas.com/read/xml/2013/09/03/1100124/4.Tahap.Memberi.Maaf