Karakteristik penduduk di negara berkembang lazimnya akan mengedepankan life style sebagai suatu kebutuhan. Misalnya, menggunakan pakaian bermerek, makan di restoran mewah, nongkrong di kafe, dan lain sebagainya, yang notabene sebenarnya berada pada kategori keinginan, tetapi naik "kelas" menjadi kebutuhan, bahkan kecanduan.
Saat ini, fenomena bagaimana mencukupi pendapatan untuk membiayai kebutuhan mencuat kembali seiring naiknya harga BBM premium dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter. Konsekuensi kenaikan harga BBM itu tentu saja luas . Di satu sisi, pemerintah bisa mengurangi subsidi terhadap BBM dan kemudian dana tersebut bisa digunakan untuk kebutuhan lain yang lebih produktif dan berjangka panjang, misalnya membiayai pembangunan infrastruktur yang memperluas lapangan kerja atau meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan.
Apa pun peruntukannya, sepanjang memberikan implikasi multiplier produktif terhadap perekonomian, pada dasarnya adalah hal yang bagus. Namun, di sisi lain, kenaikan harga BBM tentu juga memberikan tambahan biaya bagi pelaku ekonomi. Seperti apa?
Naiknya biaya transportasi dan kemudian berdampak pada biaya distribusi barang-barang akan membuat harga barang meningkat. Semua ini akan menimbulkan situasi yang disebut dengan cost push inflation. Pada gilirannya, daya beli masyarakat kebanyakan akan menurun.
Konkretnya, untuk sementara waktu, sampai dengan terbentuknya ekuilibrium atau keseimbangan baru, tentu saja kenaikan harga BBM akan menimbulkan dampak langsung berupa daya tawar uang yang dimiliki menjadi semakin rendah. Oleh karena itu, kalangan masyarakat ini harus menata ulang lagi penggunaan penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidup.
Mengatur anggaran
Ketika kebutuhan membiayai pengeluaran meningkat, sementara pendapatan tidak meningkat, maka tidak ada solusi lain kecuali mengatur kembali anggaran pengeluaran. Menata kembali mana saja yang termasuk kebutuhan primer, sekunder, dan tertier.
Bagi sebagian masyarakat yang sudah tergolong tidak miskin, ketiga kebutuhan itu biasanya bisa dipenuhi. Yang berbeda adalah alokasi dananya. Biasanya, 70 persen untuk kebutuhan primer, 20 persen membiayai kebutuhan sekunder, dan 10 persen untuk kebutuhan tertier.
Namun, bagi kalangan yang tingkat penghasilannya sudah cukup baik, alokasi dana untuk kebutuhan sekunder dan tertier bisa lebih tinggi lagi. Bagaimana dengan Anda? Apa pun alokasi anggaran yang sudah dibuat, maka suka tidak suka, saat ini momentum yang tepat untuk melakukan review.
Pertama, cek ulang hal-hal apa yang menjadi kebutuhan primer Anda. Untuk biaya makan, transportasi, pendidikan anak, kesehatan, dan segala jenis kebutuhan yang sebenarnya tidak bergantung dengan situasi apa pun tetap saja Anda mesti penuhi.
Nah, dengan adanya inflasi, otomatis harga-harga yang harus dibayar untuk semua kebutuhan tersebut akan meningkat. Umpamakan kenaikannya 10 persen. Itu berarti, pengeluaran Anda akan bertambah alokasinya untuk keperluan primer, dari sebelumnya 70 persen, menjadi paling tidak 80 persen. Dengan kata lain, hanya tersisa 20 persen sisa pendapatan untuk membiayai kebutuhan sekunder dan tertier.
Konkretnya, pada kesempatan pertama, alokasi anggaran pengeluaran bulanan Anda mesti diubah dan dinaikkan untuk kebutuhan primer. Namun, cara ini tentu saja hanya berlaku bagi kalangan yang pendapatannya sudah bisa menutup kebutuhan primer, sekunder, maupun tertier. Bagaimana dengan yang penghasilannya hanya cukup untuk membiayai kebutuhan primer saja? Lihat langkah kedua berikut ini.
Mengurangi pengeluaran
Kedua, jika penghasilan Anda belum tergolong dalam kalangan yang sudah "merdeka" secara utuh, untuk membiayai segala keinginan, maka suka tidak suka yang harus dilakukan adalah mengurangi pengeluaran Anda, termasuk pengeluaran primer sekalipun.
Bagaimana caranya? Melakukan penghematan dan hanya mengalokasikan pengeluaran terhadap hal-hal yang bersifat kebutuhan pokok. Seperti contoh di atas, sebenarnya di kalangan masyarakat modern kebutuhan primer itu bukan sekadar untuk membiayai sandang, pangan, dan papan.
Namun, juga untuk membiayai kesehatan, transportasi, pendidikan, dan seterusnya yang merupakan kebutuhan dasar yang disebut dengan kesejahteraan basic. Kesejahteraan basic itu adalah tercukupinya pangan, tersedianya rumah, adanya pakaian yang layak, kalau sakit bisa berobat, dan setelah memasuki hari tua tidak terlunta-lunta atau mengalami masalah keuangan.
Nah, jika pendapatan Anda relatif terbatas, pilihannya adalah tetap mengalokasikan anggaran untuk semua jenis kebutuhan yang bersifat mendasar tersebut, tetapi mengurangi kualitasnya sehingga harganya bisa lebih murah. Pilihan lainnya adalah membuat prioritas terhadap jenis pengeluaran tersebut.
Sebagai contoh, mengikuti program asuransi kesehatan sebagai bentuk perlindungan jika mengalami sakit. Ini termasuk kebutuhan pokok. Namun, jenis program asuransi kesehatan itu sendiri bermacam-macam. Nah, Anda memiliki pilihan untuk menentukan yang sesuai dengan kemampuan keuangan Anda, bukan sekadar keinginan.
Demikian juga dengan membiayai kebutuhan berupa pangan. Sebenarnya setiap orang hanya butuh makan tiga kali sehari, tetapi biaya yang dikeluarkan bisa sangat berbeda antara satu orang dan orang lain.
Dalam realitasnya, tidak ada orang yang mati kelaparan jika tidak makan di restoran mewah. Tidak ada juga orang yang kemudian menjadi terhina jika membawa bekal dari rumah. Semuanya merupakan pilihan yang berdampak pada jumlah pengeluaran. Silakan Anda pilih, apakah untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut Anda masih memasukkan unsur gengsi di luar unsur fungsi. Namun, jika akal sehat bicara mestinya yang diutamakan adalah unsur fungsi.
Dengan cara ini, lazimnya Anda akan menghemat banyak. Sebab, sudah banyak survei yang menunjukkan, untuk kebutuhan pangan rumah tangga sebenarnya biaya yang dibutuhkan tidak terlalu besar dibandingkan dengan kebutuhan lain.
Kesimpulannya, ketika harga-harga meningkat, sebelum terbentuknya ekuilibrium baru, maka pola pengeluaran harus mengalami penyesuaian. Dan untuk itu tentu saja dibutuhkan kemauan serta disiplin yang tinggi. Selamat mencoba.
(Elvyn G. Masassya, praktisi keuangan)
Editor :
Felicitas Harmandini
http://female.kompas.com/read/xml/2013/07/24/1107106/Membiayai.Kebutuhan.Lifestyle.dengan.Menata.Keuangan