Sunday, February 13, 2011

Beranda » Romantika Kemiskinan

Romantika Kemiskinan



Oleh :Andi Wibisana
Romantika kemiskinan.  Istilah ini baru saja saya dapatkan semalam.  Sebuah istilah unik, cukup jenaka, namun cukup

tepat untuk menggambarkan mentalitas sebagian orang yang memang menyukai kemiskinan. Tidak senang hidup susah, tapi susah hatinya bila melihat orang hidup senang. Urat miskin, kata istilah orang di kampung tempat saya tinggal.


Mereka yang doyan dengan romantika kemiskinan ini menganggap bahwa umat Muslim harus miskin selama-lamanya.  Para pemimpin kaum Muslimin pun divonis zhalim bila kaya raya. Seorang Ahmadinejad 'ketiban untung' dari perspektif miring ini terutama manakala ia melelang Peugeot 504 lawasnya untuk dihibahkan bagi kas negara, tanpa ada yang melongok kinerja manajerialnya sebagai presiden.

Mereka yang doyan dengan romantika kemiskinan ini menganggap harta harus dijauhi, karena ia identik dengan hawa nafsu. Identik dengan hubbud dunya. Similiar dengan kenestapaan dihadapan mahkamah Yaumil Hisab. Kronisnya, asumsi ini dihubungkan dengan asumsi minor bahwa hanya dengan hidup miskin dan sederhana sajalah, kejayaan yang pernah dirasakan oleh umat ini di jaman dahulu dapat dicapai kembali.

Mungkin mereka lupa bahwa ketika Islam berjaya, umat ini sangat kaya-raya.  Mungkin mereka lupa juga bahwa pernah ada masanya Khalifah Umar bin Abdul Aziz radhiyallaahu 'anhu kepayahan mencari mustahik zakat di seantero kekhilafahan Islam. Atau mungkin banyak juga yang lupa bahwa selain orang-orang miskin yang hidup seadanya, di antara para sahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga ada saudagar-saudagar kaya seperti Abdurrahman bin 'Auf radhiyallaahu 'anhu dan 'Utsman bin 'Affan radhiyallaahu 'anhu yang dengan mudah dapat bersedekah dengan sekian ratus dinar, sepetak kebun atau sekian puluh ekor unta. Atau mungkin luput meneliti bahwa delapan dari sepuluh sahabat radhiyallahu 'anhuma yang dijamin masuk surga oleh Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah saudagar kaya. Sejarah kaum Muslimin membuktikan bahwa APBN kekhilafahan ditopang oleh finansial beberapa orang saudagar saja. Sudah sejak lama.

Tidak semua orang punya duit, tapi semuanya punya cita-cita.  Itulah sebabnya orang-orang miskin di jaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah 'protes', sebab mereka melihat para sahabat yang kaya dapat bersedekah banyak sekali, sedangkan mereka tidak mampu melakukannya.  Meskipun akhirnya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memberikan solusi berupa amalan-amalan yang dapat mereka lakukan untuk mengganti sedekah yang tak dapat mereka lakukan itu, hal ini menunjukkan pada kita bahwa  mental mereka adalah mental orang kaya, bukan mental orang miskin.  Mereka tidak suka terus-terusan menaruh tangannya di bawah, menerima zakat dan BLT. Semuanya punya mimpi besar agar di kemudian hari bisa hidup berkecukupan dan membantu saudara-saudaranya yang masih kesusahan.

Sejak dulu memang ada orang-orang yang bakat bisnisnya begitu besar, sehingga apa pun yang ia usahakan selalu berhasil. Kekayaan mereka tidak mengandung dosa, karena tidak diperoleh dengan cara-cara yang melanggar aturan agama, dan mereka pun selalu memenuhi hak-hak orang lain dari hartanya itu.

Masalah muncul ketika kita memelihara suatu penyakit yang sangat berpotensi mengundang penyakit-penyakit lainnya, yaitu hasad (iri dengki). Kalau sudah dengki, logika pun terancam mati.  Menarik sekali menyimak penjelasan DR. Mutawalli asy-Sya'rawi mengenai sifat hasad yang disebut dalam surah Al-Falaq.  Menurut beliau, setiap Muslim harusnya tidak mengenal sifat hasad, dan karena itu, mereka pun tak tahu bagaimana harus mengatasi hasad orang lain kepada dirinya.  Oleh karena itu, solusi satu-satunya hanyalah berlindung kepada Allah, sebagaimana pesan dalam surah  Al-Falaq.  Memang benar, kalau orang dengki pada kita, nampaknya tak ada yang bisa kita lakukan selain berlindung kepada Allah.

Kesalahan pertama yang dilakukan oleh para pendengki ini adalah pemahamannya yang parsial tentang bagaimana Islam memposisikan harta.  Mereka cenderung larut dalam ’romantika kemiskinan’ setelah membaca riwayat hidup Nabi saw. dan para sahabatnya yang hidup seakan 'serba kesusahan'.  Mereka terkesan pada kisah ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidur di atas pelepah kurma, sehingga timbul bekas di badannya. Mereka menangis terharu mendengar bagaimana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam hanya meninggalkan secuil harta ketika wafatnya, itu pun sebagiannya telah diwasiatkan untuk disedekahkan pada orang lain.

Akan tetapi, ada riwayat-riwayat lain yang mereka lupakan. Mereka lupa bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam di Mekkah dahulu adalah seorang pedagang sukses sejak sebelum berusia 20 tahun, yang kemudian hidup berlimpah setelah menikah dengan Khadijah radhiyallaahu 'anha, seorang saudagar perempuan yang sangat terhormat.  Mahar pernikahannya pun tidak main-main, mencapai jumlah yang cukup fantastis dan tak mungkin dipenuhi oleh orang miskin : 20 ekor unta merah. (Kurs harga seekor unta merah kini setara dengan harga satu unit Toyota Alphard ! Saat ini, amat langka dijumpai seorang pemuda usia 25 tahun yang memberikan mahar senilai 20 unit Toyota Alphard demi menikahi seorang janda usia 40 tahun). Itu belum termasuk catering dan tetek bengek biaya walimah lainnya.

Banyak juga yang lupa bahwa kaya dan miskin adalah fenomena yang sudah ada sejak dahulu kala.  Ada Mush’ab bin

'Umair ra. yang perlente dan kaya dahulunya, namun setelah berislam, ia hidup sederhana. Disebutkan dalam sejarah, ia tak mendapatkan kain kafan yang cukup untuk menutup tubuhnya ketika wafatnya. Di lain pihak ada pula para shahabat yang tetap menjadi saudagar kaya hingga akhir ajalnya, sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya.

Jika kita membaca riwayat yang mengatakan bahwa 'Umar radhiyallaahu 'anhu menyedekahkan sebuah kebun, ’Utsman radhiyallaahu 'anhu menyedekahkan sekian, Abu Bakar radhiyallaahu 'anhu menyedekahkan sekian, maka kita juga harus ingat bahwa harta yang disedekahkannya itu pernah menjadi miliknya.  Artinya, sebelum menyedekahkan sepetak kebun, maka kebun itu adalah miliknya yang sah.

Jangan lupa : hanya dua dari lima Rukun Islam yang tidak perlu uang untuk melaksanakannya, yaitu syahadatain dan shalat. Bulan Ramadhan, demi melaksanakan puasa wajib dan perangkat tidak wajib seperti baju lebaran dan mudik, menjadikan anggaran belanja rumah tangga Kaum Muslimin membengkak berkali lipat. Zakat harta tidak mungkin ditunaikan kecuali oleh mereka yang memeliki kelebihan harta. Apalagi ibadah haji ke Baitullaah, amat mustahil bila tidak dengan kekuatan finansial dan fisik, kecuali bagi yang ditraktir.

Karena itu, tak ada salahnya menjadi seorang juragan perkebunan, karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tak pernah melarang hal yang demikian. Orang tak mesti miskin, bahkan Islam membenci kemiskinan. ’Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu 'anhu pernah berandai-andai : kalau kefakiran itu adalah seorang manusia, niscaya ia akan membunuhnya.  Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pun mencontohkan doa agar kita dijauhkan dari kefakiran dan kekufuran untuk dibaca sebagai wirid pagi dan petang. Memang Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya selalu memelihara hidup yang zuhud dan selalu siap untuk hidup susah di jalan Allah, tapi mereka benar-benar mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, paling anti merepotkan orang lain, namun uniknya bisa tetap menyantuni orang lain.

Kesalahan kedua adalah ketidakmampuan dalam memahami aspek fungsional dari harta yang dilihatnya.  Blackberry, misalnya, bisa dibilang sebagai barang mewah atau pemborosan di tangan seorang siswa SD atau SMP.  Akan tetapi di tangan seorang wirausahawan, ia bisa menjadi sebuah alat yang sangat bermanfaat.  Internet, bagi mereka yang hanya kenal Facebook dan chatting, memang cenderung disalahgunakan.  Akan tetapi bagi mereka yang tahu bagaimana cara memanfaatkannya, ia dapat menjadi hal yang sangat positif.

Banyak orang tahu bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam punya unta merah yang sangat handal untuk sarana transportasinya, namun mereka ’gatal’ melihat seorang ustadz membeli kendaraan mewah.  ”Wah, sudah banyak duit nih!”, sindir mereka.  "Sudah nggak kayak dulu lagi ya, ... Mulai hubud dunya !", cemooh orang banyak. Padahal fungsi motor dan mobil mereka sama saja dengan fungsi unta bagi Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Bedanya, unta tidak membawa fasilitas AC atau perangkat keamanan airbag.  Function. Not fashion. Kemewahan mobil dibanding unta harus dilihat secara bersamaan dengan perbandingan kapasitasnya.  Kapasitas angkut mobil jauh lebih besar daripada unta, demikian juga kecepatannya.  Kalau orang susah untuk nyaman di atas punggung unta, sekarang orang bisa tidur di dalam mobil, asalkan ada yang menyupirinya.  Lebih mewah, asal menghasilkan kinerja yang lebih baik, tidaklah mengapa.  Justru itulah yang disebut kemajuan zaman sekaligus wibawa ('izzah) seorang mu'min.

Kesalahan ketiga adalah membuat perbandingan yang tidak apple to apple. Dengan melihat kondisi keuangan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika wafat, lantas orang berkesimpulan bahwa keadaan itulah yang paling baik buat kita. Padahal, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sendiri yang berpesan agar kita meninggalkan harta untuk keturunan kita, agar mereka tidak hidup susah sepeninggal kita.  Apakah ada kontradiksi dalam sikap Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ? Yang terjadi bukanlah kontradiksi, melainkan kegagalan dalam memahami masalah.  Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa ajaran yang diwariskannya itu berlaku hingga akhir jaman.  Oleh karena itu, yang digunakan adalah standar kecukupan, bukan nilai nominal.  Asalkan ahli waris dapat hidup layak, maka itu sudah cukup. Kehidupan di jaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sangat berbeda dengan sekarang. Dulu, kalau lapar, tinggal panjat pohon kurma di kebun sendiri, atau perah susu dari kambing milik sendiri, atau sembelih unta sendiri.  Waktu itu belum ada sekolah, hanya ada shuffah yang 100% gratis.  Oleh karena itu, anak-anak tak perlu asuransi pendidikan.  Sekarang, segalanya harus dibeli dengan uang.  Kecuali para juragan, hampir tak ada yang punya kebun yang hasilnya bisa dipetik sendiri atau ternak yang produktif di rumahnya. Untuk makan dan sekolah, semuanya harus dengan uang.

Kalau dulu orang naik unta, dan unta makan rumput, sekarang orang naik mobil dan motor, sedangkan mobil dan motor makannya bensin dan solar.  Semuanya butuh uang.  Karena itu, wafat dengan tidak mewariskan apa-apa akan sangat menyulitkan bagi ahli warisnya. Mengambil jenazah korban kecelakaan di RSCM pun hanya bisa dengan membayar dengan uang. Nanti menguburnya pun harus keluar uang lagi. Apa yang cukup di jaman Rasulullah saw. belum tentu cukup di jaman sekarang.

Sudah saatnya umat Islam meninggalkan cara berpikirnya yang dibumbui oleh romantika kemiskinan. Kita tidak harus miskin, bahkan seharusnya kita tidak miskin. Miskin adalah kondisi finansial aktual, yang bisa saja berubah seiring waktu.  Akan tetapi kalau miskin visi, miskin cita-cita, dan miskin nyali, apalagi kalau dibumbui dengan dengki, kelihatannya memang tak ada masa depan bagi kalangan 'urat miskin' yang seperti ini.

Wallaahu a'lamu bish_shawaab.


ARTIKEL TERKAIT

http://adf.ly/HHuZ6

http://adf.ly/HHvEV

http://adf.ly/HHv7n

http://adf.ly/HHv1S

http://adf.ly/HHuuj

http://adf.ly/HHueS