Tuesday, February 15, 2011

Beranda » Mengenang Ismail Faruqi

Mengenang Ismail Faruqi

Philadelphia, AS, sahur Ramadhan 1406 H. Dua orang bersenjata tajam memasuki sebuah rumah di kawasan Cheltenham, Pensylvania, AS. Dalam hitungan menit, Ismail Razi Al Faruqi, sang pemilik rumah bersama istrinya, Lamya Al Faruqi, dan anak perempuannya, Anmar Al Zein dibabat. Ismail dan Lamya tewas seketika. Faruqi ditikam dan disayat lebih dari 13 kali. Begitu juga Lamya, ditusuk delapan kali. Sementara Anmar selamat dengan 200 jahitan untuk menutupi lukanya.
Kaum Muslim di seluruh dunia terutaman di AS, terkesiap. Semua berduka. Pembunuhan sadis itu benar-benar membuat kaum Muslim kehilangan dua orang sarjana, pemikir, pemimpin yang tak kenal lelah mendakwahkan Islam sepanjang hayat mereka. Demonstrasi pun meledak mengutuk pembunuhan keji ini.

Setelah tiga bulan penyelidikan kasus pembunuhan sadis ini tidak membawa hasil memuaskan, masyarakat muslim AS mulai mencium gelagat busuk. Tak ada satupun barang-barang milik kelurga itu hilang. Banyak kalangan percaya, suami-istri Faruqi sengaja dibunuh, dan terorisme Yahudi diyakini ada di baliknya. Pasalnya, Ismail tergolong intens menyerukan pengembalian hak-hak warga Palestine yang direnggut Israel.
Keyakinan itu bukan tanpa alasan. Sepekan sebelum pembunuhan, the Village Voice menerbitkan artikel yang menunjukkan kegeraman kaum fundamentalis Yahudi terhadap Faruqi. Meski ramah dan humoris, Faruqi amat keras mengecam kolonialiasme Israel atas Palestine dalam sebuah artikel. Victor Vancier, ketua liga pembelaan Yahudi di New York berbicara tentang perlunya sesegera mungkin “mengunci mulut seorang guru besar keturunan Palestine-Amerika yang terkenal itu”.
Akan tetapi, banyak juga analisa menyebut kematian Al Faruqi lebih dari itu. Tokoh kelahiran Palestine itu dihabisi oleh FBI (Federal Bureau Investigation), institusi resmi pemerintah AS. Komite Amerika Arab Anti Diskriminasi (ADC) menyebut pembunuhan itu terjadi dengan motivasi politis. Faruqi diduga kuat syahid akibat perannya selama ini dalam membangun peradaban Islam melalui pola pikir dan paradigma.
Bagi Faruqi, ilmu pengetahuan yang selama ini diserap dan menjadi acuan sarjana-sarjana muslim kering tanpa nilai-nilai ketuhanan. “Semua disiplin ilmu harus dibentuk ulang menyesuaikan diri dengan relevansi tauhid. Yakni, kesatuan ilmu pengetahuan yang mempersatukan dalil aqli, dalil naqli, dan dalil absolut menyangkut dogma.” usulnya suatu ketika.
Namun itu bukan berarti Faruqi merekomendasikan membuang jauh-jauh khasanah Barat, yang diperlukan kritisasi baik peradaban Barat maupun peradaban Islam. Dari kritisasi itu diharapkan tercipta sebuah sintesa, perpaduan di antara keduanya.
Kiprah Faruqi tak cuma menelorkan ide, ia juga memobilisir seluruh ilmuwan Muslim seluruh dunia. Ia mengkaryakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan mendorong seminar internasional yang sukses. Seminar itu terjadi empat kali, pertama di Mekkah pada 1977, kedua di Islamabad- Pakistan pada 1982, ketiga di Kuala Lumpur- Malaysia tahun 1984, terakhir setahun setelah dia wafat di Khortum- Sudan. Hasilnya bergandengan tangan dengan Anwar Ibrahim, tokoh muslim yang saat itu masih punya kekuasaan di UMNO, International Institute of Islamic Thought (IIIT) berdiri di Malaysia pada 1981. Dari think thank (Tim Perumus) inilah kemudian lahir International Islamic University of Malaysia (IIUM). Sejatinya menurut sebuah informasi, rekomendasi pendirian IIIT itu di Indonesia, sayangnya waktu itu Jenderal LB Murdani tidak mengizinkan.
Upaya Faruqi merupakan sebuah proyek kolektif yang maha besar. Proyek raksasa. Sebuah proyek perubahan mind set berpikir (paradigma), mengubah substansi persoalan, bukan politik atau yang lain. Inilah yang sanga dahsyat, karena meliputi penulisan ulang dari ratusan buku teks ajar. Mungkin inilah yang sangat menakutkan bagi peradaban Barat karena mindset ini akan mengurangi dominasi Barat di  masa depan dan membentuk peradaban Islam yang independen.
Pemikiran beliau juga tak lepas dari kritik dari sesama cendekiawan Muslim, semisal Ziauddin Sardar yang mengatakan bahwa sintesa belum cukup. Ziauddin mengatakan ilmu Barat memiliki kerangka epistemologis yang secara diametral berbeda dengan Islam sehingga kita perlu membuang semua ilmu Barat dan membangun epistemologis ilmu Islam yang benar-benar baru.
Bagaimanapun, Faruqi bersama istrinya telah menorehkan semangat juangnya dengan tinta emas. Ia, mujahid yang gugur dalam medan perang peradaban. Itulah yang membuatnya hidup sepanjang jaman.
(dikutip dari Al-Izzah no.24/ Th.3, 31 Januari 2002 M)