“Saya sangat tidak setuju. Itu sangat berbahaya. Yang boleh mensertifikasi ustadz hanyalah ustadz itu sendiri. Tidak boleh aparat keamanan,” kata Mahfud usai menyampaikan orasi ilmiah pada Dies Natalis ke-56 Universitas Hasanuddin di Makassar, Senin (10/9/2012).
Menurut Mahfud, dalam Islam ada perintah bahwa setiap orang yang mengerti (Islam) walau satu ayat harus berdakwah.
Lalu kalau disertifikasi, semua umat Islam yang mengerti ayat harus disertifikasi. Ini sangat berbahaya sebab suatu saat bisa dipolitisasi oleh tangan orang yang salah. Ini justru lebih Orde Baru daripada Orde Baru,” katanya.
Mahfud mengatakan, di zaman Orde Baru, ustadz disertifikasi saat ingin melakukan khutbah shalat Jumat dan hari raya. Jika saat ini ustadz juga disertifikasi, maka sangat berlebihan. “Ini hanya untuk menekan masyarakat, bukan untuk membina masyarakat. Akan kita lawan,” ujarnya.
Seperti diberitakan, Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris menilai sertifikasi ustadz adalah salah satu cara mencegah ajaran radikal.
“Dengan sertifikasi, maka pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi,” kata Irfan dalam diskusi Sindo Radio, Polemik, bertajuk “Teror Tak Kunjung Usai” di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (8/9/2012) lalu.
BNPT sendiri, sudah melakukan pengamatan langsung ke kedua negara yakni Arab Saudi dan Singapura. Hasilnya, kedua negara tersebut dinilai efektif menekan ajaran radikal.
Menurut Mahfud, jika usulan ini diundangkan, maka setiap orang yang mau berbicara dan berdakwah tidak akan dibolehkan. “Ini adalah pelanggaran HAM,” katanya. Jikalau pun usulan ini diundangkan, kata dia, maka boleh jadi undang-undang ini akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
“Saya tidak setuju karena ustadz akan diidentikkan dengan teroris. Persoalan ustadz yang terlibat terorisme adalah kasuistik. Ustadz yang nasionalis lebih banyak ketimbang ustadz yang terlibat ‘teroris’. Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan oleh negara untuk memberantas ‘terorisme’,” kata Mahfud.