Tuesday, February 22, 2011

Beranda » Khalifah yang Tak Sejahat Fir’aun

Khalifah yang Tak Sejahat Fir’aun

Khalifah Al-Makmun memang kurang disukai oleh rakyatnya. Banyak ulama dan orang-orang saleh yang memusuhinya. Pada suatu Jumat, Khalifah Al-Makmun mengunjungi Bashrah. Dia ikut shalat di masjid agung kota kelahiran Imam Hasan al-Bashri itu. Tiba-tiba, sang khatib dalam khutbahnya menyebut nama Al-Makmun dan membongkar kecurangan-kecurangannya secara kasar.

Pada Jumat yang lain, Khalifah Al-Makmun menjalankan shalat Jumat berjamaah di masjid yang berbeda. Kebetulan, khatibnya sama seperti pada waktu dia shalat di masjid agung Bashrah. Khatib itu pun mengulang kembali kritikan kerasnya kepada Khalifah Al-Makmun. “Semoga Allah SWT, melaknat khalifah yang berlaku sewenang-wenang itu,” kata khatib.

Habislah kesabaran Khalifah Al-Makmun. Lalu, khatib itu diperintahkannya untuk datang menghadap ke istana khalifah. Setengah dipaksa, khatib tersebut akhirnya mau mengunjungi khalifah.

“Kira-kira, manakah yang lebih baik, engkau ataukah Nabi Musa?”

“Sudah tentu, Nabi Musa lebih baik daripada aku. Tuan pun tahu, bukan?” jawab khatib.

“Lalu, siapakah menurut pendapatmu yang lebih jahat, aku atau Fir’aun?”

Sang khatib pun terperangah. Dia sudah bisa menduga ke mana tujuan pertanyaan itu. Namun, dia harus menjawab sejujurnya. “Tentu Fir’aun masih lebih jahat daripada Tuan.”

“Maaf, seingatku, begitu jahatnya Fir’aun sampai dia mengaku sebagai tuhan dan bertindak kejam kepada umat Nabi Musa, malah berani merebus hidup-hidup dayang putrinya yang bernama Masyithah beserta anak-anaknya. Lalu, Nabi Musa diperintahkan oleh Allah Swt, untuk berkata lemah lembut kepada si Zalim itu. Tolong, bisakah engkau membacakan perintah Allah dalam ayat Al-Quran itu kepadaku?”

Tergagap-gagap, sang khatib membacakan Surah Thaa Haa (20) ayat 44 yang artinya, “Berikanlah, hai Musa dan Harun kepada Fir’aun nasihat-nasihat yang baik dengan bahasa yang halus; mudah-mudahan dia mau ingat dan takut kepada Allah.”

“Karena itu, pantas bukan kalau aku meminta engkau untuk menegurku dengan bahasa yang lebih sopan dan sikap yang lebih baik?”

Khatib tersebut tidak bisa menjawab sepatah kata pun. Akhirnya, sejak saat itu, dia berkhutbah dengan nada yang berubah dan isi yang lebih menyentuh. Terbukti, dengan cara itu, makin banyak masyarakat yang terpikat dengan ajaran-ajarannya. Lalu, mereka berbalik langkah dari dunia hitam yang penuh maksiat untuk bertobat, melaksanakan ibadah dengan lebih taat.