Sunday, February 13, 2011

Beranda » Bukti Bahwa Rasulullah Muhammad SAW Sudah Mengetahui Pulau Sumatra Sejak Dahulu

Bukti Bahwa Rasulullah Muhammad SAW Sudah Mengetahui Pulau Sumatra Sejak Dahulu

Pulau Sumatra tak diragukan sudah diketahui oleh Rasulullah SAW selama hidup, dan sudah dilalui serta disinggahi para pedagang serta pelaut Arab di waktu itu. Sebagaimana ungkap Prof. DR. Muhammad Syed Naquib al-Attas di buku terbarunya ‘Historical Fact and Fiction’.
Kesimpulan Al-Attas ini menurut inductive methode of reasoning. Metode ini, jelas al-Attas, dapat dipakai para pengkaji sejarah saat sumber-sumber sejarah yang tersedia dalam jumlah yang sedikit maupun sulit diketahui, lebih khusus pula sumber-sumber sejarah Islam serta penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.
Terdapat dua fakta yang al-Attas gunakan buat sampai pada kesimpulan di atas. Pertama,  bukti sejarah Hikayat Raja-Raja Pasai yang di dalamnya ditemukan sebuah hadits yang mengatakan Rasulullah SAW menyuruh para sahabat
guna berdakwah di suatu tempat bernama Samudra, yang bakal terjadi tak lama lagi di kemudian hari.
Kedua, berupa terma “kafur” yang didapati di dalam Al-Qur’an.  Kata ini bersumber asal kata dasar “kafara” yang berarti menutupi. Kata “kafur” juga merupakan nama yang digunakan bangsa Arab untuk menyebut sebuah produk alam yang dalam Bahasa Inggris disebut camphor, atau dalam Bahasa Melayu disebut dengan kapur barus.
Masyarakat Arab menyebutnya dengan nama tersebut karena bahan produk tersebut tertutup dan tersembunyi di dalam batang pohon kapur barus/pohon karas (Cinnamomum camphora) dan juga karena “menutupi” bau jenazah sebelum dikubur. Produk kapur barus yang terbaik adalah dari Fansur (Barus) sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang terletak di pantai barat Sumatra. 
Dengan demikian tidak diragukan wilayah Nusantara lebih khusus lagi Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah SAW dari para pedagang dan pelaut yang kembali dengan membawa produk-produk dari wilayah tersebut dan dari laporan tentang apa yang telah mereka lihat dan dengar tentang tempat-tempat yang telah mereka singgahi.
Dalam acara bedah buku “Historical Fact and Fiction” yang baru-baru ini (13/11) diselenggarakan oleh Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) bekerja sama dengan Persatuan Pelajar Sulawesi Selatan (PPSS) di kampus International Islamic University Malaysia (IIUM), Prof. DR. Tatiana Denisova, dosen di Departemen Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Akademi Studi Islam di Universitas Malaya Kuala Lumpur Malaysia, mengungkapkan kesetujuannya dengan al-Attas dalam penggunaan inductive methode of reasoning dalam mengkaji sejarah.
Muslimah asal Rusia yang pandai berbahasa Melayu ini setuju dalam masalah ini berdasarkan pengalaman Denisova yang setiap hari menghadapi masalah kurangnya bahan-bahan dan kajian-kajian dalam bidang ilmu sejarah Islam di Nusantara, dan berdasarkan kenyataan konsep sejarah Islam yang tidak berasaskan pada konsep dan falsafah Islam.
Lebih lanjut, mantan staf domestik di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Rusia yang mendorong al-Attas menulis buku tersebut dan membantu al-Attas dalam menyediakan bahan-bahan tulisan untuk penulisan buku tersebut lebih lanjut menjelaskan menurutnya ada empat faktor penyebab minimnya sumber dan kajian sejarah Islam dan sejarah penyebaran Islam di Nusantara.
Pertama, sumber dan karya ilmiah sejarah Islam yang ditulis dalam huruf Jawi/Pego (Arab latin) oleh masyarakat Nusantara tidak begitu terkenal di kalangan ilmuwan Barat karena tidak banyak dari mereka yang pandai membaca tulisan Jawi.
Kedua, banyak sumber sejarah yang hilang atau tidak diketahui keberadaannya pada zaman penjajahan. Ketiga, biasanya sumber-sumber sejarah yang ditulis masyarakat Nusantara dianggap oleh orientalis sebagai artifak sastra, sebagai karya dongeng atau legenda, yang hanya bisa dipelajari dari sudut filologi atau linguistik, dan tidak bisa diterima sebagai sumber sejarah yang sempurna dan benar. Para orientalis hanya membicarakan dan menganalisa gaya bahasa dan genre, tetapi tidak memperhatikan informasi-informasi lain yang berkaitan dengan fakta sejarah berupa aktivitas ekonomi, undang-undang, aktivitas intelektual dan lain sebagainya.
Keempat, karena minimnya sumber dan kajian sejarah Islam Nusantara membuat para ilmuwan Barat hanya menggunakan sumber, kajian dan tulisan dari luar Nusantara termasuk dari Barat. Mereka tidak memperhatikan atau mungkin tidak tahu adanya bahan-bahan dan informasi yang terdapat dalam berbagai sumber sejarah Islam termasuk sumber-sumber sejarah dari wilayah Nusantara.
Spekulatif
Dalam acara bedah buku yang dihadiri 120 orang mahasiswa dan mahasiswi IIUM yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei tersebut, Prof. DR. Abdul Rahman Tang, dosen pasca sarjana di Departemen Sejarah dan Peradaban, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences di International Islamic University Malaysia, selaku pembanding menyatakan kajian sejarah Islam Nusantara yang dilakukan al-Attas dalam buku tersebut sebagian besar bersifat spekulatif.
Muslim Cina warga Malaysia tuna netra yang mengakui kredibilitas akademik al-Attas dalam kajian dunia Nusantara terutama sejarah kedatangan, peradaban dan adat  Islam Nusantara ini menyimpulkan sebagian besar fakta-fakta yang diungkap al-Attas dalam buku tersebut bersifat spekulatif. Salah satu fakta spekulatif tersebut adalah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai. Menurutnya, fakta-fakta tersebut bisa valid jika telah menjalani proses “verification of fact”. Namun Al-Attas tidak melakukan proses ini terhadap hadits tersebut.
Tang mempertanyakan status hadits ini dan mengkhwatirkan implikasinya terhadap pemikiran masyarakat Nusantara. Menurutnya, al-Attas melakukan inductive methode of reasoning secara tidak konstruktif.
DR. Syamsuddin Arif, dosen IIUM asal Jakarta, selaku pembicara kedua dalam acara bedah buku tersebut mengungkapkan kesimpulan al-Attas di atas logis dan sesuai dengan fakta. Hal ini berdasarkan perjalanan pelaut dan pedagang Arab pada masa Rasulullah saw yang pergi ke Cina. Untuk mencapai negeri Cina melalui laut tak ada rute lain kecuali melalui dan singgah wilayah Nusantara.
Lebih lanjut Arif mengemukakan berbagai teori dan pendapat tentang kapan, dari mana, oleh siapa, dan untuk apa penyebaran Islam di Nusantara beserta bukti-bukti dan fakta-fakta yang digunakan untuk mendukung pendapat-pendapat tersebut. Arif juga menjelaskan ilmuwan siapa saja yang memegang dan yang menentang pendapat-pendapat tersebut.
Di akhir makalahnya, Arif mempertanyakan pendapat J.C. Van Leur yang pertama kali menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotivasi oleh kepentingan ekonomi dan politik para pelakunya. Van Leur dalam bukunya Indonesian Trade and Society berpendapat, sejalan dengan melemahnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Sumatera dan khususnya di Jawa, para pedagang Muslim beserta muballigh lebih berkesempatan mendapatkan keuntungan dagang dan politik. Dia juga menyimpulan adanya hubungan saling menguntungkan antara para pedagang Muslim dan para penguasa lokal. Pihak yang satu memberikan bantuan dan dukungan materiil, dan pihak kedua memberikan kebebasan dan perlindungan kepada pihak pertama. Menurutnya, dengan adanya konflik antara keluarga bangsawan dengan penguasa Majapahit serta ambisi sebagian dari mereka untuk berkuasa, maka islamisasi merupakan alat politik yang ampuh untuk merebut pengaruh dan menghimpun kekuataan.
“Namun, benarkah demikian? That’s a problem!” ungkap Arif.
Suasana debat akademis di antara pembicara yang  “pro dan kontra” terhadap karya al-Attas dalam acara bedah buku tersebut cukup memanas tetapi tetap mengedepankan akhlaqul karimah dan mengedepankan rasio dibanding emosi. Begitulah semestinya debat ilmiah para ilmuwan Muslim.

Abdullah al-Mustofa
mustofa96@gmail.com
Peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur, Malaysia
Redaktur: Johar Arif