Kasus mutakhir ketika PKS memutuskan mendukung Foke-Nara dalam Pilgub DKI Jakarta putaran kedua. Langkah ini dikomentari dengan penuh semangat luar biasa oleh para netter. “PKS plin plan”, “PKS= Partai Korupsi Selalu”, “PKS jilat ludah sendiri”, “PKS partai munafik”, adalah sedikit contohnya. Belum lagi kata-kata kasar yang sangat tak pantas ditampilkan di artikel ini.
Saya sempat menjelejah kompas.com yang memberitakan rencana PKS melaporkan pihak tertentu yang menyebarkan fitnah terkait dukungan kepada Foke-Nara. Saat itu tercatat sebanyak 888 komentar dan mayoritas berisi kalimat negatif. Luar biasa!
Kuat dugaan saya, andaikata PKS akhirnya mendukung Jokowi-Ahok, hujatan serupa pasti akan diterima. Kira-kira begini komentarnya: “PKS partai bunglon”, “PKS partai oportunis”, “PKS partai pragmatis”, dan sebagainya. Singkat kata: apapun yang dilakukan PKS, hinaan dan caci maki akan datang bertubi-tubi. Serasional dan sebanyak apapun argumentasi PKS, tetap saja gelombang hujatan datang mendera.
Fenomena ini mengingatkan saya pada materi Membangun Kecerdasan Emosi dan Sosial Anak dalam Konferensi Pendidikan Anak Usia Dini, di Jakarta, dua tahun lalu yang disampaikan dua pakar dan praktisi pendidikan anak dari Florida, AS: Pamela Phelps, Ph.D dan Laura Stannard, Ph.D. Menurut keduanya, ada empat tahapan penyelesaian konflik yaitu: Pasif (Passive), Serangan Fisik (Physical Aggression), Serangan Bahasa (Verbal Aggression), dan Bahasa (Language).
Tahapan pertama Pasif (Passive). Pada tahap ini, anak hampir tidak melakukan kontak sosial dan komunikasi dengan lingkungan. Tahapan ini dialami oleh para bayi yang belum bisa bicara dan berbuat banyak, terlebih menyelesaikan masalahnya.
Tahap kedua adalah Serangan fisik (Physical Aggression). Anak-anak usia praTK (sekitar 2-3 tahun) seringkali menyelesaikan masalah dengan melakukan serangan fisik berupa: tantrum (marah), berteriak, menggigit, menendang, memukul, atau melempar benda. Ia belum mempunyai perbendaharaan kata- kata untuk mengatasi persoalannya. Saat menginginkan mainan, seorang anak akan langsung merampas atau ketika marah pada temannya ia akan langsung memukul.
Tahap ketiga yaitu Serangan Kata-kata (Verbal Aggression). Ketika anak menginjak TK sekitar 4-6 tahun maka serangan fisik akan berkurang namun mereka mulai memahami kekuatan kata-kata. Mereka akan bergerak ke tahap ‘serangan kata-kata’. Anak perempuan usia 4 tahun kadang berkata: “Bajumu jelek!” atau “Kamu tidak boleh datang ke pesta ulang tahunku!”
Tahap keempat yaitu Bahasa (Language). Tahap ini, seorang anak sudah dapat menyelesaikan masalah dengan bahasa: kalimat yang positif, tidak kasar dan tidak menghakimi. Penggunaaan bahasa seperti ini merupakan cermin dari kematangan dan pengendalian emosi yang baik. Anak-anak yang akan masuk sekolah dasar sebaiknya sudah sampai pada tahapan bahasa untuk mengatasi persoalannya. Contoh: ketika seorang anak sedang membuat bangunan dengan balok, seorang teman menyenggol bangunannya. Anak itu berkata, “Aku tidak suka, kamu merobohkan rumahku.” Kemudian temannya itu menjawab, “Maaf aku tidak sengaja!” Masalah selesai dan kedua anak itu melanjutkan pekerjaannya.
Bercermin dari empat tahapan di atas, kasus hujatan kepada PKS secara jelas mengindikasikan kebanyakan masyarakat kita masih pada tahap verbal aggression. Kebanyakan anggota bangsa ini masih senang menyerang orang dengan kata-kata hinaan yang kasar. Ini terjadi karena tahapan tersebut tak dilalui dengan tuntas saat masih anak-anak.
Ironis tentu saja mengingat orang-orang yang mengakses internet mayoritas berpendidikan dan dari kalangan perkotaan. Dan lebih menyedihkan lagi, penyakit ini juga diidap oleh para pengamat yang notabene bergelar S2 dan S3.
Di sebuah situs berita, seorang pengamat politik dari universitas terkemuka ikut-ikutan melakukan verbal aggression kepada PKS. “PKS telah melakukan pendidikan politik yang buruk kepada masyarakat karena mendukung Foke,” katanya.
Lalu, dimana ia dan pengamat politik lainnya ketika PKS tak membolehkan kadernya yang menjadi menteri merangkap sebagai pengurus partai? Mengapa mereka tak berkata bahwa PKS telah melakukan pendidikan politik yang baik untuk bangsa ini?
Lalu dimana mereka (pengamat dan para netter) ketika di PKS tak ada tradisi rusuh dan politik uang ketika menggelar pergantian pimpinan partai? Mengapa mereka tak berkomentar bahwa ini adalah pendidikan politik yang patut diteladani?
Lalu dimana mereka ketika PKS hingga kini menjadi partai yang jauh lebih bersih dari korupsi dibandingkan partai lain? Mengapa mereka tak berkoar-koar bahwa PKS partai bersih dan harus menjadi role model partai di Tanah Air?
Dimana mereka…? Dimana mereka…? Sunyi senyap. Tak terdengar apresiasi sedikitpun dari mulut mereka ketika PKS melakukan kebijakan-kebijakan politik yang positif.
Pertanyaan selanjutnya: dosakah mendukung Foke-Nara? Apakah PKS tidak pro perubahan? Apakah PKS partai munafik karena kini mau bergabung ke Foke meski dulu berseberangan? Jawaban pertanyaan ini adalah:
Pertama, Politik tidak hitam putih. Dalam literatur politik manapun kerap disebutkan bahwa politics is art of possible. Kalau politik itu kaku dan hitam putih, PKS sudah pasti tak akan terjun ke politik. Kalau politik itu hitam putih, tentu saja PKS tak akan pernah mau berkoalisi atau mendukung orang atau partai yang kadernya sering korupsi. Karena PKS itu berhak mengklaim dirinya sebagai partai bersih berdasarkan data dan fakta di lapangan. Politik itu ekuivalen dengan dakwah. Harus mengayomi, mengajak, merangkul, saling bergandengan tangan dengan sebanyak mungkin orang.
Kedua, pro perubahan atau tidak, bukan ditentukan oleh sikap PKS mendukung Jokowi atau tidak. Jika mendukung Jokowi berarti pendukung perubahan, bagaimana kita menjelaskan kasus-kasus yang membelit partai pendukung Jokowi? Mulai dari korupsi, amoral, asusila, dan sebagainya. Jadi dukung Jokowi=Pro perubahan adalah opini yang menyesatkan dan membahayakan. Bukankah kasus-kasus tersebut menjadi indikasi kuat anti perubahan?
Ketiga, apa salahnya PKS berbalik mendukung Foke walau di putaran pertama menjadi competitor? Terlalu banyak contoh politik dimana dulu satu sama lain berseberangan, di kemudian hari justru bergandengan tangan.
Akhirnya, Verbal aggression harus dihentikan karena sarat dengan nilai-nilai subjektifitas, sinisme, tendensius, egoistis dan kebencian tanpa alasan. Verbal aggression jauh dari sikap objektif, rasional, santun dan bermoral.
Tapi nampaknya, penyakit ini sulit sembuhkan dalam waktu singkat. Dan kita pun akan terus melihat para pengidap verbal aggression di negeri ini menghujat setiap langkah yang dilakukan PKS dan anggotanya. Apakah Jaya Suprana akan tergerak memberikan rekor MURI?
Erwyn Kurniawan
sumber