Friday, February 4, 2011

Thaha Husain dan Hasan Al-Banna

Thaha Husain menulis buku berjudul Mustaqbalu ats-Tsaqafah Fi
Misr yang menimbulkan kehebohan di Mesir. Sebagian orang memuji
dan sebagian lain mencacinya.
Hasan Al-Banna—Mursyid Amm Al-Ikhwan Al-Muslimun—diundang untuk memberikan tanggapan terhadap buku tersebut. Lima hari sebelum acara, Al-Banna mulai membaca buku yang akan dibedah tersebut di kereta setiap pulang pergi ke sekolah. Pada hari yang telah ditentukan, ia berangkat menuju kantor Syubbanul Muslimin. Ternyata kantor telah dipenuhi para ahli ilmu,
sastrawan, dan tokoh pendidikan.Hasan Al-Banna kemudian naik mimbar dan mengawali pemaparannya dengan memuji Allah SWT dan membaca shalawat untuk Rasulullah SAW. Setelah itu beliau mengkritik buku dengan ungkapanungkapan yang terdapat dalam buku itu sendiri. Al-Banna mengungkap beberapa alinea buku dan menunjukkan nomor halamannya. Sementara para hadirin terkagum pada kuatnya hapalan dan kecerdasannya. Pada acara penutupan, Sekretaris Jenderal Syubbanul Muslimin memberi kabar kepada Hasan Al-Banna, bahwa Thaha Husain ikut menghadiri pertemuan di tempat tersembunyi. Pada hari berikutnya, Thaha Husain meminta bertemu Hasan Al-Banna dan ia menyanggupi. Maka terjadilah perbincangan yang membuat Thaha Husain terkagum pada Hasan Al-Banna. Setelah itu Thaha Husain berkata, “Andai lawanlawanku seperti Hasan, tentu aku menjabat tangan mereka sejak hari pertama. Wahai Ustadz Hasan, saya mendengar kritikanmu dan terkagum padamu. Kritikan seperti ini tidak dimiliki orang lain selain engkau.” Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari penggalan kisah perjalanan dakwah Hasan Al-Banna di atas?

Kisah di atas paling tidak mengandung hikmah sebagai berikut:

1.Perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan yang akan selalu terjadi sepanjang
zaman ilaa yaumil qiyaamah. Rasa-rasanya tidak pernah dan tak akan pernah
terjadi manusia di muka bumi ini sepakat dalam seluruh urusannya.
2.Langkah pertama terbaik manakala terjadi perbedaan pendapat adalah membuka
dialog yang sehat dan sopan, dengan didasari niat mencari pendapat yang lebih
dekat kepada kebenaran.
3.Tokoh dan pemimpin umat hendaknya mampu memberikan teladan kepada umat
untuk bersikap dewasa dalam menghadapi perbedaan. Mereka yang berbeda
pendapat seharusnya berupaya saling memahami sudut pandang dan landasan
berfikirnya masing-masing, dengan begitu diharapkan substansi permasalahan
dapat diketahui dengan jelas. Dengan kata lain pihak pro dan kontra hendaknya
dapat saling mengenal dan memahami argumentasi masing-masing. Bukankah
seringkali terjadi kekacauan dan keributan serta debat kusir yang berkepanjangan
tanpa konklusi, disebabkan masing-masing pihak belum memahami dan atau tidak
berusaha memahami argumentasi ‘lawan’?
4.Tokoh dan pemimpin umat hendaknya selalu memelihara dan meningkatkan
integritas dan kapabilitas dirinya.
5.Perbedaan pendapat ‘sekeras’ apa pun sebaiknya tidak membuat seseorang
kehilangan akal sehat dan kedewasaannya. Dialog jangan sampai dianggap
sebagai ajang pamer otot-otot intelektual yang hasil akhirnya adalah menang atau
kalah.
6.Pihak-pihak yang berbeda pendapat harus jujur kepada kebenaran, seraya
menghormati kepada ‘lawan’ yang berbeda pendapat dengannya. Mereka adalah
tawanan kebenaran, dimanapun kebenaran berada maka ia tunduk kepadanya.
Wallahu a’lam bishawab