|    PERTANYAAN      Sebagian orang berprasangka buruk terhadap wanita.   Mereka menganggap wanita sebagai sumber segala bencana   dan fitnah. Jika terjadi suatu bencana, mereka berkata,   "Periksalah kaum wanita!" Bahkan ada pula yang   berkomentar, "Wanita merupakan sebab terjadinya   penderitaan manusia sejak zaman bapak manusia (Adam)   hingga sekarang, karena wanitalah yang mendorong Adam   untuk memakan buah terlarang hingga dikeluarkannya dari   surga dan terjadilah penderitaan dan kesengsaraan atas   dirinya dan diri kita sekarang."       Anehnya, mereka juga mengemukakan dalil-dalil agama   untuk menguatkan pendapatnya itu, yang kadang-kadang   tidak sahih, dan adakalanya - meskipun sahih - mereka   pahami secara tidak benar, seperti terhadap   hadits-hadits yang berisi peringatan terhadap fitnah   wanita, misalnya sabda Rasulullah saw:      "Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang   lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah)   perempuan."      Apakah maksud hadits tersebut dan hadits-hadits lain   yang seperti itu? Hadits-hadits tersebut kadang-kadang   dibawakan oleh para penceramah dan khatib, sehingga   dijadikan alat oleh suatu kaum untuk menjelek-jelekkan   kaum wanita dan oleh sebagian lagi untuk   menjelek-jelekkan Islam. Mereka menuduh Islam itu dusta   (palsu) karena bersikap keras terhadap wanita dan   kadang-kadang bersikap zalim.      Mereka juga mengatakan, "Sesungguhnya suara wanita -   sebagaimana wajahnya - adalah aurat. Wanita dikurung   dalam rumah sampai meninggal dunia."      Kami yakin bahwa tidak ada agama seperti Islam, yang   menyadarkan kaum wanita, melindunginya, memuliakannya,   dan memberikan hak-hak kepadanya. Namun, kami tidak   memiliki penjelasan dan dalil-dalil sebagai yang Ustadz   miliki. Karena itu, kami mengharap ustadz dapat   menjelaskan makna dan maksud hadits-hadits ini kepada   orang-orang yang tidak mengerti Islam atau berpura-pura   tidak mengerti.      Semoga Allah menambah petunjuk dan taufik-Nya untuk   Ustadz dan menebar manfaat ilmu-Nya melalui Ustadz.   Amin.      JAWABAN      Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit atau agama   bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan   haknya, dan menyayanginya. Islam memuliakan wanita,   memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai manusia.   Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan   memeliharanya sebagai anak perempuan.      Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan   memeliharanya sebagai istri. Islam memuliakan wanita,   memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai ibu. Dan   Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan   memelihara serta melindunginya sebagai anggota   masyarakat.      Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi   tugas (taklif) dan tanggung jawab yang utuh seperti   halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan pahala   atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula   diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk   laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan   istrinya (lihat kembali surat al-Baqarah: 35)      Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun nash Islam,   baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah sahihah, yang   mengatakan bahwa wanita (Hawa; penj.) yang menjadi   penyebab diusirnya laki-laki (Adam) dari surga dan   menjadi penyebab penderitaan anak cucunya kelak,   sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama.   Bahkan Al-Qur'an menegaskan bahwa Adamlah orang pertama   yang dimintai pertanggungjawaban (lihat kembali surat   Thaha: 115-122).      Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang   merendahkan kaum wanita dengan cara mengurangi   hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang   telah ditetapkan syara'. Padahal, syari'at Islam   sendiri telah menempatkan wanita pada proporsi yang   sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan,   sebagai anak perempuan, sebagai istri, atau sebagai   ibu.      Yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan wanita   tersebut sering disampaikan dengan mengatas namakan   agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu.   Orang-orang yang bersikap demikian kerap menisbatkan   pendapatnya dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi:   "Bermusyawarahlah dengan kaum wanita kemudian   langgarlah (selisihlah)."      Hadits ini sebenarnya palsu (maudhu'). Tidak ada   nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya ditinjau   dari segi ilmu (hadits).      Yang benar, Nabi saw. pernah bermusyawarah dengan   istrinya, Ummu Salamah, dalam satu urusan penting   mengenai umat. Lalu Ummu Salamah mengemukakan   pemikirannya, dan Rasulullah pun menerimanya dengan   rela serta sadar, dan ternyata dalam pemikiran Ummu   Salamah terdapat kebaikan dan berkah.      Mereka, yang merendahkan wanita itu, juga sering   menisbatkan kepada perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa   "Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala kejelekan   itu berpangkal dari wanita."      Perkataan ini tidak dapat diterima sama sekali; ia   bukan dari logika Islam, dan bukan dari nash.1      Bagaimana bisa terjadi diskriminasi seperti itu,   sedangkan Al-Qur'an selalu menyejajarkan muslim dengan   muslimah, wanita beriman dengan laki-laki beriman,   wanita yang taat dengan laki-laki yang taat, dan   seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.      Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat,   karenanya tidak boleh wanita berkata-kata kepada   laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab, suara   dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah   dan membangkitkan syahwat.      Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan   dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.      Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan   laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw. dari   balik tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi itu   mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat   daripada istri-istri yang lain, sehingga ada beberapa   perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak   diharamkan kepada selain mereka? Namun demikian, Allah   berfirman:      "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka   (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir   ..."(al-Ahzab: 53)      Permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu   sudah tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin   (ibunya kaum mukmin: istri-istri Nabi). Mereka biasa   memberi fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepada   mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang yang   ingin mengambil hadits mereka.      Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi saw.   dihadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan   melakukan hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan   pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar   ketika Umar sedang berpidato di atas mimbar. Atas   sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya, bahkan ia   mengakui kebenaran wanita tersebut dan mengakui   kesalahannya sendiri seraya berkata, "Semua orang   (bisa) lebih mengerti daripada Umar."      Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang   syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib; ed.) yang berkata   kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an:      "... Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia   memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum   (ternak) kami ..." (al-Qashash: 25)      Sebelum itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya   juga berkata kepada Musa ketika Musa bertanya kepada   mereka:      "... Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua   wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumkan   (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu   memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah   orang tua yang telah lanjut usianya." (al-Qashash: 23)      Selanjutnya, Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita   percakapan yang terjadi antara Nabi Sulaiman a.s.   dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan   kaumnya yang laki-laki.      Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum   kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak   menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.      Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan   untuk menarik laki-laki, yang oleh Al-Qur'an   diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul   (tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana   disebutkan dalam firman Allah:      "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti   wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah   kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah   orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah   perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)      Allah melarang khudhu, yakni cara bicara yang bisa   membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya   "berpenyakit." Namun, dengan ini bukan berarti Allah   melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap   laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:      "Dan ucapkanlah perkataan yang baik"      Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami   hadits dengan salah. Hadits-hadits yang mereka   sampaikan antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari   bahwa Nabi saw. bersabda:      "Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang   lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah)   wanita."      Mereka telah salah paham. Kata fitnah dalam hadits   diatas mereka artikan dengan "wanita itu jelek dan   merupakan azab, ancaman, atau musibah yang ditimpakan   manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit,   kelaparan, dan ketakutan." Mereka melupakan suatu   masalah yang penting, yaitu bahwa manusia difitnah   (diuji) dengan kenikmatan lebih banyak daripada diuji   dengan musibah. Allah berfirman:      "... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan   kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) ...."   (al-Anbiya: 35)      Al-Qur'an juga menyebutkan harta dan anak-anak - yang   merupakan kenikmatan hidup dunia dan perhiasannya -   sebagai fitnah yang harus diwaspadai, sebagaimana   firman Allah:      "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan   (bagimu)..." (at-Taghabun: 15)      "Dan ketabuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu   hanyalah sebagai cobaan ..." (al-Anfal: 28)      Fitnah harta dan anak-anak itu ialah kadang-kadang   harta atau anak-anak melalaikan manusia dari kewajiban   kepada Tuhannya dan melupakan akhirat. Dalam hal ini   Allah berfirman:      "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu   dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.   Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah   orang-orang yang rugi." (al-Munaafiqun: 9)      Sebagaimana dikhawatirkan manusia akan terfitnah oleh   harta dan anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah   oleh wanita, terfitnah oleh istri-istri mereka yang   menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan, dan   menyibukkan mereka dengan kepentingan-kepentingan   khusus (pribadi/keluarga) dan melalaikan mereka dari   kepentingan-kepentingan umum. Mengenai hal ini   Al-Qur'an memperingatkan:      "Hai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara   istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh   bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka ..."   (at-Taghabun: 14)      Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi   alat untuk membangkitkan nafsu dan syahwat serta   menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini   merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan dapat   menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan   menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.      Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita disini   seperti peringatan untuk berhati-hati terhadap   kenikmatan harta, kemakmuran, dan kesenangan hidup,   sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:      "Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas   kamu, tetapi yang aku takutkan ialah dilimpahkan   (kekayaan) dunia untuk kamu sebagaimana dilimpahkan   untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu   memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu   berlomba-lomba memperebutkannya, lantas kamu binasa   karenanya sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya."   (Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)      Dari hadits ini tidak berarti bahwa Rasulullah saw.   hendak menyebarkan kemiskinan, tetapi beliau justru   memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan itu,   dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran. Juga   tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai umatnya   mendapatkan kelimpahan dan kemakmuran harta, karena   beliau sendiri pernah bersabda:      "Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik" (HR.   Ahmad 4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2,   dan Hakim mengesahkannya menurut syarat Muslim, dan   komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)      Dengan hadits diatas, Rasulullah saw. hanya menyalakan   lampu merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan   (kehidupan) yang licin dan berbahaya agar kaki mereka   tidak terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang tanpa   mereka sadari.      Catatan kaki:      1 Perkataan ini sudah kami sangkal dalam   Fatwa-fatwa Kontemporer jilid I ini.     |