“Kyai, Dinosaurus, halal ndak dagingnya?”
“Kok, sampeyan nanya yang macem-macem?”
“Bukan macem-macem kyai, daging Dinosaurus halal apa tidak?”
“Ya, ngerti. Pertanyaan sampeyan itu yang macem-macem”.
“Hanya satu macem kyai. Cuma daging Dinosaurus halal apa tidak”.
“Sampeyan jauh-jauh dateng ke sini cuma mau tanya soal itu?”
“Banyak. Nanti kalo soal Dinosaurus sudah terjawab, baru ke soal yang laen”.
“Saya ndak mau jawab”.
“Kyai bukan ndak mau jawab. Tapi kyai ndak tahu jawabannya. Ya toh?”
“Ndak mau, bukan berarti ndak tahu”.
“Halah, itu cuma alibi kyai. Biar wibawanya ndak jatuh di mata saya”.
“Lha, apa wibawa harus jatuh kalo ndak mau jawab pertanyaan ngeyel model sampeyan?”
“Lha, ini bukan pertanyaan ngeyel. Ini namanya mudzakarah, mengasah kecerdasan menjawab masalah umat”.
“Emang umat punya masalah apa dengan si Dinosaurus?”
“Bukan ke situ maksudnya kyai. Wajar kan kalo suatu saat umat bertanya tentang status hukum yang belum diketahui”
“Betul. Tapi kalo pokok soalnya adalah daging Dinosaurus, itu yang kurang wajar”.
“Ya wajar-wajar saja, kyai. Namanya juga orang kepengen tahu. Masalahnya, kyai mampu atau tidak menjawab masalah ini. Kyai tahu atau tidak hukum daging Dinosaurus. Itu yang penting”.
“Sampeyan sok tahu soal Dinosaurus”.
“He he he … Asal kyai tahu ya, Bukan saya nyombong nih, saya ini Antropolog, kyai. Saya paham betul soal Dinosaurus, Brontosaurus, Thyrex dan segala jenis hewan purbakala. Saya sering diundang ceramah ke luar negeri soal hewan purba. Saya ahlinya. Nih … sertifikatnya”.
“Oooh … hebat sampeyan”.
“Iya lah. Saya kan bukan kyai yang langkahnya cuma dari satu pondok ke pondok yang laen. Paling khutbah Jum’at, ceramah di kampung, mimpin do’a, sudah. Yaa pemain lokal”.
“Oh my Allah … forgive him. Innahu qaumun laa ya’lamuun. Wa huwa rojulun laa yadrii wa laa yadrii annahu laa yadrii”.
“Aamiin”.
“Loh, kok sampeyan aamiin?”
“Lha, kan barusan kyai menyampaikan doa”.
“Oh … ya ya ya”.
“Wkakakakakakak … kyai, kyai. Masa kyai yang berdo’a sendiri, kyai yang linglung. Apa gara-gara belum tahu status daging Dinosaurus jadi linglung?”
“Ah ndak juga. Sampeyan aja yang kegeeran”.
“Lha kalo begitu, silahkan jawab pertanyaan saya soal status daging Dinosaurus. Halal apa haram”.
“Jadi sampeyan maksa nih”.
“Ya ndak juga sih. Itu pun kalo kyai mampu menjawab”.
“Baiklah. Berhubung sampaeyan yang ahli Dinosaurus. Paham betul soal Dinosaurus, tolong sampeyan bawa ke sini itu Dinosaurus. Saya sembelih dengan menyebut nama Allah. Nanti dagingnya saya kirim ke laboratorium untuk diteliti. Apakah dagingnya aman untuk sampeyan konsumsi atau tidak. Mengandung racun atau tidak. Mengandung cacing vita atau tanasolium seperti terdapat pada daging babi atau tidak. Sing penting, sampeyan bawa Dinosaurusnya dulu ke sini. Piye?”
Gubraaaaaakkkkkkk!!!
ABDUL MUTTAQIN