Friday, February 18, 2011

Beranda » KISAH SEORANG 'ALIM DAN PENJUAL TELUR

KISAH SEORANG 'ALIM DAN PENJUAL TELUR

Oleh: Mahmud Jad Yasin

Ini adalah kisah yang dikatakan terjadi pada zaman Khalifah Harun ar-Rasyid. Ketika itu ada seorang alim yang berkeliling negeri-negeri, menantang adu argumentasi dengan para ‘ulamanya dan mengalahkan mereka sehingga reputasinya naik, urusannya tersebar dan disegani oleh para ‘ulama di seantero negeri. Ketika para ‘ulama Baghdad mengetahui bahwa ‘alim ini sekarang berada di Iran, mereka berkumpul dan berpikir di antara mereka untuk mencari cara sehingga mereka bisa membuka kedoknya dan mengalahkannya di hadapan Khalifah.


Maka mereka bersepakat untuk mendatangkan seorang laki-laki yang bukan dari kalangan ‘ulama untuk menghadapi ‘alim dari Iran ini. Mereka pergi ke penjual telur di sebuah pasar di Baghdad. Mereka menjanjikan kepadanya akan memakaikan kepadanya pakaian kebesaran dan memberi kepadanya apa yang diinginkannya dari harta benda. Maka orang ini pun menerima. Dia memasukkan telur yang tersisa di dalam saku baju baru yang baru dibelikan oleh para ‘ulama ini. Mereka kemudian membawa penjual telur ini untuk menghadapi ‘alim di hadapan Khalifah.

Dimulailah debat yang oleh ‘alim dari Iran ini disyaratkan agar debat memakai isyarat. Isyarat pertama yang dilakukan oleh ‘alim ini adalah mengarahkan satu jarinya ke wajah penjual telur, maka penjual telur ini membalas dengan mengarahkan dua jari ke wajah ‘alim. Isyarat kedua adalah ‘alim mengarahkan satu jarinya ke langit, maka penjual telur ini membalas dengan mengarahkan satu jarinya ke bumi. Isyarat ketiga adalah ‘alim mengeluarkan dari barang bawaannya seekor ayam betina, maka penjual telur ini membalas dengan mengeluarkan dari saku bajunya sebutir telur. Maka bingunglah ‘alim ini dan berkata kepada Khalifah, “Aku bersaksi bahwa ‘alim ini (dia maksudkan adalah penjual telur) telah mengalahkanku dan belum pernah ada seorangpun yang mengalahkanku sebelumnya”.

Maka penjual telur ini mendapat hadiah dari Khalifah. Tatkala pertemuan sudah berakhir, Khalifah memanggil ‘alim ini dan bertanya, “Apa yang engkau maksudkan dengan isyaratmu tadi dan apa pula balasannya?” Dia menjawab, “Ketika aku mengarahkan satu jariku kepadanya, aku katakan kepadanya (dengan isyarat) ‘Sesungguhnya Allah itu Esa’, maka dia membalas dengan 2 jari, yaitu bahwa Allah tidak dua. Ketika aku mengangkat jariku ke langit aku katakan kepadanya , ‘Sesungguhnya Allah meninggikan langit’, maka dia membalas dengan berisyarat dengan jarinya ke bumi, yang maksudnya adalah Allah membentangkan bumi. Ketika aku mengeluarkan ayam betina, yang kumaksud adalah sesungguhnya Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati, maka dia mengeluarkan telur yaitu bahwa Allah mengeluarkan yang mati dari yang hidup”

Pada hari kedua, Khalifah memanggil ‘alim yang satunya (yaitu penjual telur) dan bertanya, “Apa yang dikatakan oleh ‘alim dengan isyaratnya dan apa yang engkau balas?” Dia menjawab, “Ketika dia menunjuk satu jarinya ke wajahku dia mengatakan kepadaku, ‘Aku akan mencukil matamu’, maka aku tunjuk dia dengan 2 jari dan kukatakan dengan hal itu, ‘Aku akan cukil matamu dua kali’. Ketika dia mengangkat jarinya ke langit, dia mengatakan, ‘Aku akan angkat engkau ke atas’ maka aku berisyarat dengan jariku ke bumi, kumaksudkan adalah aku akan benamkan engkau di bumi. Ketika dia berisyarat ke tiga maksudnya adalah dia sanggup makan ayam betina, maka ketika aku mengeluarkan telur maksudnya adalah aku juga sanggup makan telur.

Demikianlah … satu perkataan dengan pemahaman dan interpretasi yang berlainan, betapa banyak hal ini terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Seorang di antara kita memaksudkan ini sedangkan yang lain memahami dengan hal yang berbeda. Sehingga dari sini sering terjadi perselisihan di antara manusia. Oleh karena itu banyak kita dengar kalimat, “Aku tidak memaksudkannya demikian, engkau memahaminya berlebihan”.

Akan tetapi yang bagus adalah ketika kita adu argumentasi dan kita menafsirkan perkataan dan memahaminya dengan lebih dari satu makna, akan tetapi akhir dari itu adalah kesepakatan dan tidak ada perselisihan, dan aib . Ketika kita tidak memahami ucapan itu maka kita meminta untuk ditafsirkan sehingga lebih bisa diharapkan kepahaman yang benar terhadap suatu ucapan.

Sumber: Majalah Qiblati