Friday, February 18, 2011

Beranda » Kisah Nyata Tentang Bahaya Ghibah – Menggunjing

Kisah Nyata Tentang Bahaya Ghibah – Menggunjing

Tetanggaku satu ini, memang terbiasa lidahnya. Ada saja pembicaraan yang lantas jadi gosip-gosip murahan keluar dan lisannya. Ibarat radar, sinyalnya besar, ibarat wartawan ia jeli memilih berita, hingga oplah penjualan berita dari bibir ke bibir selalu bikin heboh warga sekitar.

Sebagai tetangga, kami semua sudah sering menegurnya meski dengan bergurau.

Nggak capai Bu, ngejar berita melulu? Wartawan saja pake libur, habis ngeliput.Njenengan (kamu) kok nggak ada capainya”.


‘Lho ngomongin orang itu enak, Mbak. Lagian yang diomongin fakta bla..bla..bla”.

Selalu saja ada alasannya dan biasanya ia tertawa ngakak bila ditegur. Sebenarnya Bu Nik -panggil saja begitu- orangnya baik, ringan tangan menolong tetangga atau siapa saja yang membutuhkan tanpa diminta. Ia juga supel dan ramah, hanya saja, lisannya itu membuat orang geleng kepala dan mengelus dada.

Sebenarnya banyak orang yang ingin marah atau tak suka dengan kebiasannya itu tapi tak ada yang bertindak.

Lebih-lebih akhir-akhir ini, pembicaraannya mulai menyulut kemarahan beberapa orang. Hal itu disebabkan mereka merasa dirugikan dengan pembicaraan yang disebar Bu Nik ke orang-orang. Di depan si A Bu Nik bilang kalau Bu B mengatakan begini begitu soal A, di depan bu B Bu Nik menyatakan hal sehaliknya, sama-sama sama termakan omongan Bu Nik keduarnya bertengkar hebat. Bahkan sampai adu fisik saat pertemuan RT. Aku dan beberapa ibu-ibu yang hendak melerai malah kena pukulan nyasar. Pipiku lebam, mataku bengkak dan merah. Pertemuan RT pun bubar dengan ruangan yang berantakan.

Saat di bawa ke Rumah RT, Bu Nik adem ayem saja seolah tanpa dosa. Akhirnya, alhamdulillah, masalah selesai. Bu A dan Bu B akur lagi, tapi hubungan mereka dengan Bu Nik jadi berjarak. Bu Nik juga dinasihati Pak RT.

Beberapa bulan kemudian aku yang jadi korbannya. Tak tanggung-tanggung, aku dituduhnya orang yang tidak amanah menggelapkan uang warga. Naudzubillah. Sepeser pun aku tidak rnengambilnya. Asal mulanya, ia hendak meminjam uang tabungan warga untuk suatu keperluan. Kala itu aku mengatakan padanya kas tabungan kosong, hanya tinggal ± 50 ribu. Karena sudah dipinjam beberapa warga lain. Hal itu ada bukti catatannya. Tapi dasar lidahnya “gatal”, ia menyebarkan ke orang-orang bahwa uang tabungan “kumakan” sendiri. Pantas saja, aku beberapa kali mendengar kasak-kusuk tak enak soal aku dan tabungan warga. Bahkan ada beberapa warga yang tidak mengecek kebenarannya langsung bicara menyakitkan padaku. Bahkan kerudungku juga dibawa-bawa!!!

Hatiku sakit, juga malu sendiri. Aku mencari tahu sumber berita itu, setelah izin RT, karena itu menyangkut nama baikku juga keluargaku. Ternyata sulit mencari keadilan dan kebenaran. Selama masalah itu bergulir, aku pasrahkan tugas bendahara pada bu RT, lengkap dengan catatannya. Pembicaraan di luar kian menyudutkan dan membuat aku terpuruk. Hingga aku jatuh sakit. Alhamdulillah, suami menguatkanku.

“Sudah biarkan saja Mi, kalau kaya gini terus Ummi sendiri yang rugi. Hasbunallah wa ni’mal wakil, Mi… Allah nggaktidur”.

Benar saja, hingga suatu Maghrib, seorang warga yang tempo hari sempat bicara kasar padaku, datang ke rumah meminta maaf. Katanya ia mendapat berita itu dari Bu Nik dan Ia percaya begitu saja. Terus saat rapat RT, kebetulan aku tak datang karena sakit, Bu RT meluruskan berita miring soal aku, lengkap dengan data-data catatan tabungan di depan forum rapat. Walhamdulillah. Beban berat hati seolah dihimpit batu berton-ton, lepas sudah. Esoknya aku menerima beberapa kunjungan ibu-ibu yang tempo hari termakan isu itu. Dan dari mereka, aku tahu sumber berita itu adalah Bu Nik, mereka meminta maaf.

Saat melihat Bu Nik datang ke rumah meminta maaf, hari berikutnya, ingin rasanya aku marah. Tapi melihatnya menangis aku tak tega, ia bilang dimarahi suaminya soal itu. Aku menasihatinya, berharap ia berubah.

Janji tinggal janji. Bu Nik berulah lagi. Kali ini dengan tetangga belakang. Tanpa ba-bi-bu, tetangga belakang melabraknya ke rumah di siang hari bolong. Hampir saja terlambat, tongkat sudah diayun, kaca rumah Bu Nik pecah berantakan. Aku dan suami, yang qadarullah tinggal di depan rumah Bu Nik, langsung menghambur keluar.

“Sabar, Bu!!! Sabar!! Istighfar!! Nggak pantas kaya gini!! Tolong, bicara baik-baik!”

Aku dan suami memberanikan diri melerai, meski jujur takut kena pukul seperti dulu. Alhamdulillah, tetangga lain mulai berdatangan membantu, meredakan suasana. Bu Nik menangis dibelakang pintu, ketakutan. Suaminya ditelpon pak RT agar izin dulu untuk pulang. Suaminya terkejut mendapati rumah berantakan dan penuh orang.

“Ada apa lagi sih, Ma?! Bikin gara-gara apa lagi Kamu? Nggak ada kapok-kapoknya bikinmalu. Kalau kamu nggak juga berubah, kamu hidup sendiri saja. Malu aku punya istri tak bisa dididik baik-baik!!kasihan anakmu, kasihan gua mi, keluarga kita, kasihan orang lain. Bikin susah semua orang”

Hampir ia ditampar suaminya, tapi berhasil ditahan keluarga. Kami sebenarnya kasihan melihat, tapi ia memang pantas menerimanya, agar menjadi pelajaran. Ada saran beberapa warga yang sakit hati untuk membawanya ke kantor polisi, biar kapok dan tak mengganggu lagi. Bahkan suaminya pasrah. Bu Nik histeris meminta ampun. Pak RW dan Pak RT menengahi.

Akhirnya, ia diminta membuat surat pernyataan bermaterai agar tidak mengulangi perbuatannya lagi, bila masih ingin tinggal di RT kami. Alhamdulillah, Bu Nik menepati janjinya. Ia juga jarang keluar rumah, tak seperti dulu, tak tahu waktu. Ia juga memintaku mengajarinya membaca Iqra’. Sebuah awal perubahan yang menggembirakan.

“Umm…, aku mau berubah, benar-benar tobat. Aku sudah menyusahkan banyak orang selama ini. ”Aku memeluknya bahagia. Kini, tak ada lagi biang gosip dan masalah di RT kami. Hubungan antar tetangga terjalin baik dan saling menghargai. (***)

Sebagairnana kisah Mbak N di P kepada Ummu Zubair“Salam hangat untuk tetangga-tetangga baikku di Cemara. Mohon maaf untuk sernua salah dan khilaf”